Dalam madzhab Syafi’i, ada dua macam perkara sunnah dalam shalat yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah.
Sekarang yang kita kaji lebih dahulu adalah sunnah ab’adh. Sunnah ab’adh adalah perkara yang dianggap sunnah dalam shalat.
Jika sunnah ab’adh ditinggalkan, maka bisa diganti dengan sujud sahwi.
Apa saja yang masuk sunnah ab’adh?
Ada tiga sunnah ab’adh yang bisa kami sebutkan setelah penjabaran sifat shalat Nabi secara lengkap.
1- Duduk tasyahud awal.
Dalil bahwa tasyahud awal termasuk sunnah adalah hadits dari ‘Abdullah bin Buhainah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ فَقَامَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ لَمْ يَجْلِسْ ، فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ حَتَّى إِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ، وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ ، كَبَّرَ وَهْوَ جَالِسٌ ، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Zhuhur. Lalu ketika raka’at kedua, beliau berdiri dan tidak duduk tasyahud awal. Para jama’ah pun turut mengikuti beliau. Ketika di akhir shalat, saat jama’ah menunggu beliau salam, ternyata beliau bertakbir dalam keadaan duduk dan melakukan dua kali sujud sahwi. Sujud sahwi tersebut dilakukan sebelum salam. Kemudian beliau salam.” (HR. Bukhari no. 829 dan Muslim no. 570).
3- Shalawat pada Nabi setelah tasyahud awal.
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Imam Syafi’i berpendapat dalam Al Umm bahwa shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap ada dalam tasyahud awal. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’I dan pendapat terbaru dari Imam Syafi’i. Namun hukumnya adalah sunnah, bukanlah wajib. Dalam pendapat terdahulu, Imam Syafi’i berkata, “Setelah tasyahud tidak wajib menambahkan shalawat.” Inilah yang diriwayatkan oleh Al Muzani, juga menjadi pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Malik.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan alasan kenapa pembacaan shalawat pada Nabi tetap ada pada tasyahud awal, di mana beliau berkata, “Allah Ta’ala telah memerintahkan pada orang beriman untuk mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa ketika ada salam untuk beliau, maka di situ juga terdapat shalawat padanya. Oleh karena itu ketika para sahabat bertanya mengenai cara bershalawat pada beliau, mereka berkata, “Kami sudah mengetahui bagaimanakah cara mengucapkan salam kepadamu –wahai Rasulullah-, lantas bagaimanakah kami menyampaikan shalawat kepadamu?” Ini menunjukkan bahwa shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bergandengan dengan salam pada beliau. Oleh karena itu setiap yang mau bershalawat pada Nabi maka ia juga menyampaikan salam pada beliau.” (Jalaul Afham, hal. 321).
Alasan lainnya disampaikan oleh Ibnul Qayyim bahwa shalawat digandengkan dengan salam ketika menyebut nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan sesuatu yang lebih sempurna. (Jalaul Afham, hal. 322).
Semoga bermanfaat.
Referensi Utama:
Al Fiqhu Al Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy Syafi’i, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Qalam, cetakan kesepuluh, tahun 1430 H.
Jalaa-ul Afham fii Fadhli Ash Shalah was Salaam ‘ala Muhammad Khoiril Anam, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Dar Ibni Katsir, cetakan kedua, tahun 1432 H.
—
Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 4 Jumadal Ula ba’da Isya’ di Darush Sholihin Gunungkidul
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com